DN Aidit, Poligami, Agama dan Pancasila


FS - Tidak banyak yang tahu DN Aidit lahir dan besar dalam lingkungan Islam. Namanya pemberian keluarganya adalah Achmad Aidit. Ketika sadar akan potensinya dalam kancah gerakan politik, ia berganti nama menjadi Dipa Nusantara Aidit, kerap disapa DN Aidit. Achmad Aidit lahir disaat gerakan pemuda dan organisasi intelektual yang berorientasi melawan kolonialisme mulai bermekaran, pada 30 Juli 1923 di Belitung, Sumatera Selatan. Ia dibesarkan dari keluarga terhormat dan berkecukupan. Aidit kecil dan remaja adalah anak periang, aktif, pembelajar dan pelindung keluarga. Banyak teman sebayanya menilai sosoknya sebagai remaja yang terbuka dan mudah bergaul, rajin mengaji dan mengumandangkan azan di masjid kampungnya. Aidit adalah seorang muslim progresif yang faseh baca Qur’an dan seorang muazin masjid di kampungnya Belitung. Ketika ia bergulat dalam politik nasional—komunisme seakan meluluhlantahkan pribadinya sebagai mukmin dan ekspresi politik—melawan ‘kedzaliman’ penguasa (borjuis serakah, neokolonialisme, neoimperialisme) tak dimaknai lawan politik sebagai sebuah ikhtiar Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Pendapat Aidit Soal Poligami

Ia anti POLIGAMI, kader Partai tidak boleh senang-senang. Untuk poligami sendiri Aidit sangat keras dan ini kemudian menciptakan polemik diam-diam dengan Njoto yang saat itu ada kisah affair dengan perempuan Russia, padahal Njoto sudah punya isteri dan banyak anak. DN Aidit marah besar dengan Njoto. Aidit juga menyerang kesukaan Bung Karno soal perempuan dan banyak Jenderal yang juga suka main perempuan. Ia selalu mengejek Ahmad Yani yang sudah meniru-niru Bung Karno soal perempuan.
"Indonesia belum mencapai kemajuan dan kemakmuran. Negara ini memang tidak akan bisa maju kalau diurus oleh pemimpin yang mempunyai empat atau malahan lima orang istri!" teriak Aidit. Pernyataan itu tak lain ditujukan kepada Presiden Sukarno yang memiliki lima istri pada saat itu, yakni Fatmawati, Hartini, Ratna Dewi, Haryati dan Yurike. Padahal baru beberapa hari sebelumnya Soekarno menganugerahkan penghargaan prestisius Bintang Mahaputera pada Aidit. Soekarno pun hadir pada peringatan HUT PKI ke-45, 23 Mei 1965 di Istora Senayan. Dalam acara itu Soekarno dan Aidit berangkulan mesra.

Aidit, Agama dan Pancasila

Label komunis ateis dan anti Pancasila merupakan hal yang melekat pada Aidit di mata lawan politiknya. Kenyataanya Aidit tak pernah pandang bulu dalam menggandeng kawan perjuangan. Ia tak melihat perbedaan agama atau ras, selama ia memegang erat garis perjuangan rakyat ia adalah kamerad sejatinya. Berikut ini adalah wawancara dengan Aidit yang berjudul "PKI menentang premetelan terhadap Pancasila".

Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu).

Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya,grootste gemene deler dankleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan…” Sebagaimana juga Bung Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan… Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu… dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga…”.

Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.”

Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?

Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis, yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.

Dalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner. Misalnya agama Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani melakukan perlawanan terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa membangkitkan massa budak. Juga dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada Marxisme, adalah sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.

Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme “Malaysia”, maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.

Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia memeluk agama Islam?

Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur “Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur “A” demi persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.

Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama?

PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.

Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan ajaran-ajaran Marxisme?

Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis, belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Karl Marx.

Penutup

Dari artikel diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua sejarah yang diceritakan oleh penguasa adalah benar. Bukan berarti artikel ini adalah benar, karena saya tidak hidup pada jaman saat itu.

Wassalam...

Sumber sebagian Artikel :
- Indoprogress.com
- Kaskus

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url